Perkataan “kesepian” menjadi gantungan mulutku sesudah aku datang ke Amerika. Dalam fikiranku, masyarakat Amerika amat berdikari. Mereka tidak suka meminta-minta orang lain, juga tidak ingin dikacau orang. Seluruh masyarakat ini seperti Peti Es! Apabila aku memang perlu tolongan, selalunya dinafikan secara tidak langsung oleh kawan Amerikaku. Bahkan pernah perasaan benci muncul dalam hati aku. Beberapa kali aku mengangis dan menjerit kepada ibuku yang jauh di sebelah lain lautan Pasifik.
Di sini pembaca pasti ingin bertanya bahwa apakah yang mengukirkan keberanian dan kekuatan Pak Pramoedya? Aku mendapat jawaban dari pengalamannya sewaktu dia muda yang dipamerkan dalam sebuah dokumentasi. Aku menangis dua kali apabila melihat ceritanya.
Cerita yang pertama adalah sewaktu Pak Pramoedya masih bersekolah dasar. Dia kata dia menggunakan sepuluh tahun (sepatutnya hanya perlu tujuh tahun) untuk tamat sekolah, yaitu tiga kali dia tidak lulus. Ini buat ayahnya, sebagai seorang guru, sangat mengecewakan. Hal ini begitu karena Pramoedya selalunya punya rasa inferior atau rendah diri. Dia sering bergaul dengan kanak-kanak buruh tani. Dengan mereka lah, baru dia merasa sederajat. Jadi, dia tidak berani menyatakan pendapat. Ini juga sebab dia menulis. Dia dapat mencurahkan pikiran melalui tulisan sejak di sekolah dasar. Selepas tamat sekolah dasar, dia rasa berhak untuk meneruskan pelajaran. Dia memberitahu ayahnya. Tetapi ayahnya berkata:
“Anak Bodoh! Kembali ke sekolah dasar!”
Jadi Pramoedya kembali ke sekolah yang telah tamat. Gurunya, bernama Amir, tanya dia kenapa kembali lagi. Namun, Pramoedya tidak menjawab apa-apa, lalu dia pulang rumah. Dalam perjalanan pulang rumah ada sebuah kuburan. Di
Air mataku mengalir. Karena aku melihat sebenarnya seluruh dunia ini menjerit, seluruh dunia ini kesepian dan seluruh dunia ini berjuang dengan nasib, tak kisah orang besar atau orang kecil sepertiku.
Cerita kedua adalah waktu Pramoedya berumur tujuh belas tahun. Ibunya sakit keras akibat TBC, tidak ada obat, tidak ada orang memberi makanan. Sebab dia anak sulung, dia perlu menjaga ibu sampai ibunya meninggal, waktu itu ibunya baru umur tiga-puluh-empat tahun. Walaupun keluarganya pernah membantu banyak orang, tetapi waktu ibunya meninggal, tidak ada satu tangan pun membantu, sehingga Pramoedya melaksanakan penguburan ibu pun secara sendiri. Waktu itu dia baru umur tujuh belas dengan tujuh adik, yang anak termuda, juga meninggal.
Betapa susah kehidupan manusia dunia ini! Di sini, aku sekali lagi menyaksikan kekuatan Pramoedya. Dia berkata pesanan ibunya yang banyak memberi pengaruh besar kepadanya:
“Jangan minta-minta pada siapa pun!”
Dia juga berkata,
“Keberanian bukan anugerah tapi hasil lah yang hidup sehari-hari.”
“Keberanian sama seperti otot manusia! Kalau tidak dilatih, dia akan jadi lemah.”
“Dalam hidup ini, jangan lari, hadapi semua, inilah cara untuk melatih keberanian.”
Tidak tahu kenapa, selepas melihat kedua cerita Pramoedya, aku terasa amat santai. “Kesepian” dan “kesusahan”ku sebenarnya tidak apa-apa kalau dibandingkan dengan kesulitannya. Barangkali inilah keindahan “bumi manusia”, berjuang dengan yang susah, menikmati yang berjaya.
Emosi frustrasi dan kesepian itu pasti terasa kebanyakan mahasiswa meneruskan pendidikannya di stratum MA atau PhD. Saya sendiri pernah kebimbangan terhadap kemampuan saya dan kesempatan mendapatkan pekerjaan yang baik. Selain itu, saya juga mengalami kesepian karena saya sudah sepuluh tahun lebih tua daripada rekan kelasku. Saya menyetujui kesimpulanmu bahwa kita memang beruntung punya betapa banyak kesempatan mencari sukses di dunia ini sedangkan kebanyakan orang di dunia tidak bisa memilih nasib dirinya.
回复删除