2009年11月3日星期二

Bahasa Gaul

Pada minggu ini saya belajar sejenis gejala bahasa yang baru yaitu “Bahasa Gaul” dalam kuliah Bahasa Indonesia. Mengikut cuplikan filem “Ada Apa dengan Cinta” dan artikel “Bahasa Gaul Tantangan Berat Pengembangan Bahasa Indonesia”, kedua karya mempunyai tema yang sama yaitu resiko bahasa gaul dan kepentingan bahasa Indonesia yang baku sebagai bahasa kebangsaan. Namun, pada pandangan saya, bahasa gaul tidak dapat dikatakan “merusak” bahasa Indonesia. Sebaliknya, gejala tersebut adalah satu tanda yang menunjukkan bahwa bahasa Indonesia adalah satu bahasa yang masih berkembang dengan pesat. Bahasa gaul ini sebenarnya adalah produk dari penggunaan bahasa lisan harian. Kebanyakan bahasa gaul merupakan kata-kata yang terubah sebagian fonemnya (satuan kata yang terkecil) supaya lebih enak disebutkan. Contohnya, kata “mengasih” dijadikan “ngasih”; kata “sebentar” dijadikan “entar”; kata “menulis” dijadikan “nulis” dan sebagainya. Selain daripada itu, bahasa gaul ini juga mengandung kata-kata yang terubah menjadi lebih ringkas dari segi morfologinya. Misalnya, kata “curhat” adalah singkatan dari frasa “curahan hati”; kata “barusan” dari “baru saja”; kata “diapain” dari “diapakan” dan lain-lain. Semua ini membuktikan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang hidup, berkembang dan masih mengalami proses evolusi. Ini seperti sejarah evolusi manusia juga. Organ yang berguna akan dikembangkan seperti tangan manakala organ yang sia-sia (kurang berguna) akan disingkirkan seperti ekor. Tidak peduli dijadikan bentuk apa, ia diubahkan hanya untuk lebih enak digunakan oleh manusia. Sama dengan bahasa, ia adalah peralatan komunikasi manusia. Semua perubahan bahasa hanya untuk lebih mudah dikomunikasikan. Perkembangan ini perlu menerima perkataan baru dari masa ke masa. Kalau bahasa sudah berhenti menerima kata baru, ini adalah tanda bahwa bahasa ini menuju ke arah bahasa mati seperti bahasa sanskrit. Oleh karena itu, gejala “bahasa gaul” bukanlah kelakuan yang merusakkan bahasa Indonesia. Gejala ini hanya adalah sejenis gejala yang normal bagi sesuatu bahasa yang masih hidup. Jadi, menurut saya, lembaga atau institusi pemerintah tidak perlu susah-payah dengan tegasnya mengatur penggunaan bahasa Indonesia yang baku. Pengawalan penggunaan bahasa Indonesia yang baku akan menjadikan bahasa Indonesia tidak berkembang seperti disebut di atas bahkan kematian. Sama dengan pihak sensor bagi media massa, karya filem sinetron atau tulisan adalah cermin kehidupan masyarakat yang benar. Kalau tegas disensor, bahasanya akan menjadi kurang aktif sehingga karyanya pun turut luntur.

Bahasa apa pun yang masih hidup mestinya ada gejala bahasa gaul, termasuk bahasa Inggeris, bahasa Mandarin, bahasa Hindi dan sebagainya. Peraturan penggunaan bahasa yang baku perlu diadakan di sesebuah negara. Ini adalah untuk membinakan sebuah bahasa yang dapat diertikan/dimengerti oleh semua anak bangsa dari setiap pelosok negara. Hal ini penting karena melalui bahasa kebangsaan yang satu dapat menyebarkan serta memperkukuhkan semangat nasionalisme di seluruh negara. Namun, ini tidak kena-mengena dengan isu “bahasa gaul”. Walaupun kedudukan tingginya ditempati bahasa kebangsaan yang baku, tetapi pihak pemerintah masih perlu mengizinkan gejala dialek dan bahasa gaul yang cukup menggairahkan bahasa dan kehidupan kita.

1 条评论:

  1. Saya sangat setuju dengan pendapat Anda tentang bahasa gaul. Saya juga suka sekali cara Anda menyampaikan gagasan Anda lewat tulisan.
    Satu pertanyaan: apakah fenomena bahasa gaul di bahasa Mandarin signifikan, seperti di bahasa Indonesia? Apakah pemerintah Cina mencoba melakukan pengawasan tertentu untuk mengatur perkembangan bahasa Mandarin dll.?

    回复删除